Leo Tolstoy mengatakan
bahwa “Seni itu bukan kerajinan, melainkan perwujudan perasaan dan pengalaman
seniman. Sedangkan kerajinan perulangan kemahiran yang turun temurun. Kerajinan
tidak mencerminkan perasaan seniman, melainkan mencerminkan rajin- sregrep-
dari pembuatnya tersebut. Tapi coba kita lihat gebyok. Gebyok bukan hanya
kerajinan melainkan mengandung makna. Pada masa pemerintahan Ratu Kalinyamat,
pemimpin Jepara pada abad ke 16, gebyok telah diciptakan dan menjadi
masterpice. Gebyok ini mencerminkan pemikiran dan perasaan estetik maupun etik.
Gebyok bukan semata-mata bentuk yang tidak ada artinya. Gebyok menunjuk pada
kebijakan manusia.
Gebyok yang sudah
berkembang pada masa pemerintahan Ratu Kalinyamat ini adalah rumah kayu yang
dipenuhi oleh kerajinan ukir pada kayunya. Gebyok diciptakan untuk meraih tujan
praktis, etis, dan estetik. Sebagai kebutuhan praktis, gebyok adalah sebagai
rumah yang layak. Walaupun penuh ukiran, tetapi tidak meninggalkan kekuatan
sebagai penyangga rumah juga. Dan rumah ini bukan rumah biasa. Melainkan rumah
yang terhormat. Betapa tidak, untuk menciptakan gebyok diperlukan kayu pilihan
serta tenaga ahli yang cukup serta waktu yang cukup.
Gebyok juga punya nilai
etis. Gebyok memberi pesan spiritual bagi penghuninya. Ukiran dalam gebyok (SP
Gustami, 2008) menceritakan tujuan hidup manusia -sangkan paraning dumadi-:
keharmonisan, kesejahteraan dan kedamaian. Keharmonisan desain gebyok
memperlihatkan pentingnya keharmonisan hidup dengan alam. Gebyok juga tanda
tentang jalan ke sorga, naik turunnya roh nenek moyang. Swastika adalah simbol
harmoni dan keseimbangan hidup. Bung bambu adalah simbol regenerasi, kesuburan,
dan keberlanjutan hidup. Kala makara adalah simbol cinta antara ibu dan anak.
Kini gebyok menjadi
warisan budaya Indonesia yang tidak lekang oleh jaman. Gebyok penuh metafor dan
pesan tentang kebijakan hidup tentang kesejahteraan hidup. Sejahtera bukan di
dunia saja melainkan di akhirat..
Gebyok ini pernah menjadi
simbol kekayaan di kudus. Gebyok banyak dipakai di rumah Kudus sebelum tahun
1810 M, menjadi simbol kejayaan dan kekayaan pemiliknya. Lingkungan Kudus Kulon
diciptakan sebagai tempat khusus rumah tradisional kudus.
Tumbuhnya kesadaran dan
kebanggaan akan warisan budaya daerah, ikut serta menciptakan kegairahan dalam
memelihara dan mengembangkan budaya gebyok. Kini gebyok banyak disukai di
seluruh Indonesia bahkan di dunia.
Sebelumnya, seni ukir
kudus didominasi oleh bunga teratai. Hal ini bisa dimengerti karena pada saat
itu, pada zaman dahulu, agama mayoritas warga Kudus adalah agama Hindu. Sunan
Kudus, penyebar Islam tanah Jawa, memperkenalkan ukiran dari bunga melati.
Bunga melati berukuran kecil, putih dan wangi. Arti dari melati sebagai
perlambang bahwa penganut agama Islam pada waktu itu berjumlah kecil, namun
bisa memberikan wewangian bagi sekeliling. Melati dalam gebyok dibikin menyatu
sama lain, dan juga menyatu dengan komponen yang lain. Makna simbolik dari
kedekatan ini adalah umat islam dan umat dari beragama lain sebaiknya
bersatu membangun kedamaian, walaupun berbeda agama dan pendapat.
Ukir kayu pada gebyok kayu
membutuhkan kemahiran tingkat tinggi. Sampai sekarang, kemahiran ini tidak
pudar. Pengrajin gebyok banyak ditemukan di Jepara dan Kudus. Darimanakah
mereka membangun kemahiran ukir ini?
Asal Mula Kemahiran Ukir
Kudus sekarang lebih
dikenal sebagai kota rokok, sedangkan Jepara sebai kota ukir. Sebelum
Jepara terkenal sebagai kota ukir, kota Kudus terlebih dahulu terkenal sebagai
pusat ukir. Ukiran diperkenalkan kepada masyarakat Kudus saat imigran terkenal
dari kota Yunan – China, The Ling Sing, datang di abad ke 15. Dia datang ke
Kudus tidak hanya menyebarkan agama Islam tetapi juga mengajarkan seni
ukir kayu. Ukirannya dikenal dengan sebutan, Sung Ging, yang terkenal
kehalusannya serta adikarya yang menakjubkan.
The Ling Sing kemudian
dikenal sebagai mubaligh (penyebar Islam) yang dikenal dengan nama Kiai
Telingsing. Nama ini kini diabadikan menjadi nama jalan besar di Kota
Kudus. Di Kudus juga terdapat kampung yang bernama Sunggingan, diperkirakan
dari sebutan Kiai Telingsing.
Dari abad ke 16 sampai
abad 18, pengrajin ukir kayu Kudus menerima berbagai pesanan untuk membangun
rumah kayu. Bahan utamanya kayu jati dengan kualitas terbaik yang disupplai
dari hutan Blora, Tuban, dan, Tuban dan Bojonegoro. Pada abad ke 19, jati
dengan kualitas terbaik semakin jarang, sehingga menyurutkan minat mereka untuk
mengembangkan keahliannya.
Kemahiran ukir yang masih
bertahan hingga sekarang berada di Jepara, kota tetangga Kudus. Kemahiran ukir
warga Jepara sangat terkenal dan bertahan hingga sekarang. Sentra pembuat
gebyok pun terletak di kota Jepara, yang berdekatan dengan kabupaten Kudus.
Tidak berarti Jepara
melanjutkan tradisi Kudus. Jepara juga punya tradisi ukir yang tua. Kalau
guru ukir Kudus adalah Kiai The Ling Sing, guru ukir warga Jepara adalah Tji
Wie Gwan atau Sun Ging Badar Duwung. Karya Tji Wie Gwan ini adalah
ornamen masjid Mantingan, yang dibangun pada tahun 1559. Kemudian Sunging
Badar Duwung ini mengajarkan kerajinan ukir pada kayu pada warga Jepara, dan
kemahiran itu dipertahankan secara turun temurun, sampai sekarang.
No comments:
Post a Comment